LSM Robin Hood 23 Kawal Kasus Dugaan Mafia Tanah Satu Keluarga di Kota Pekalongan Terancam Terusir dari Rumahnya Sendiri

LSM Robin Hood 23 Kawal Kasus Dugaan Mafia tanah sidang kedua agenda pemeriksaan saksi berlangsung di PN Pekalongan, Selasa (2/4).

PEKALONGANNEWS.COM,KOTA PEKALONGAN – Sidang kedua kasus sengketa tanah dengan terdakwa Leni Setyawati (74) warga Jalan Kartini, Kota Pekalongan beragenda pemeriksaan saksi berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Kota Pekalongan. Leni beserta ketiga anaknya dipidanakan oleh ahli waris dari rekan bisnis suaminya dengan tuduhan menempati lahan tanpa izin.

Bacaan Lainnya

“Tanah yang ditempati itu sudah bersertifikat atas nama saya dan anak saya. Ada dua sertifikat masing-masing nomor 00037 seluas 420 meter persegi dan 00038 seluas 1013 meter persegi,” ucap Felly Anggraini Tandapranata dalam sidang, Selasa (2/4/2024).

Ia mengungkap asal-usul tanah yang dimilikinya itu merupakan hasil membeli dari Lukito Lutiarso (suami Leni) pada 1994 yang pada saat itu hendak disita oleh bank. Dia meminjam uang untuk menebus ke bank lalu meminta suaminya membeli asal tetap bisa tinggal dan menempati rumah lamanya.

Kemudian dibuatlah akata persetujuan perjanjian pinjam pakai nomor 20 pada 28 Juli 1997 dan berlaku hingga Lukito lutiarso meninggal dunia. Kemudian setelah itu 40 hari meninggalnya yang bersangkutan dirinya menghubungi cucu dari almarhum.

“Saat itu saya ngomong tanahnya mau dibeli atau lanjut sewa. Kalau mau sewa Rp 5 juta perbulan di hadapan notaris,” katanya dihadapan majelis hakim.

Felly menjelaskan keluarga Leni sempat mendatangi rumahnya di Cirebon lalu setelahnya meminta foto kopi sertifikat dan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) namun tiba-tiba melakukan gugatan perdata ke PN Pekalongan dan akhirnya sidang dipindahkan ke PN Cirebon.

“Mereka juga kalah gugatan di tingkat kasasi. Karena itu pada 27 Mei 2021 saya laporkan ke Polda,” ujarnya.

Kuasa hukum saksi pelapor, Risma Situmorang menambahkan sebelum dilakukan pelaporan pidana ke Polda Jawa Tengah, pihaknya sudah memberikan kesempatan mediasi. Bahkan pada saat di Polda Jateng ada kesempatan restorasi justice.

“Klien saya ini kecewa karena harus bolak balik ke Polda sehingga terlalu capek mengurus perkara ini,” katanya.

Ia pun menegaskan bahwa kepemilikan tanah tersebut sudah melalui proses jual beli yang sah lantaran sudah mengecek langsung ke notaris dan yang membuat semua perjanjian juga masih hidup dan rencanya akan dihadirkan dalam sidang berikutnya.

”Saya menyaksikan sendiri bundel akta-akta berkas versi asli dan bukan foto kopian. Kalau misalnya khawatir akta bisa dipalsukan, maka pihak mereka bisa saja melaporkannya ke polisi,” tukasnya.

Adapun kalau ditanya terkait tidak dilampirkannya tanda tangan isteri dalam surat perjanjian jual beli maka bisa saja dilampirkan dalam kuasa menjual di minuta akta yang berarti pihak isteri telah menyetujui suaminya akan menjual.

Sedangkan kalau tidak ada maka perjanjian jual beli bisa dibatalkan. Artinya suami menjual tanpa persetujuan isteri, itu tidak boleh di hukum Indonesia. Namun karena Lanny Setyawati yang merupakan isteri almarhum Lukito Lutiarso ada surat kuasa di notaris maka surat jual beli berani dibuat.

“Jadi awalnya, almarhum Lukito Lutiarso ada utang Rp 203 juta di BRI dengan menjaminkan tiga sertifikat tanah dan terjadi gagal bayar, lalu kemudian memilih menjual ke almarhum Hidayat Tandapranata (suami Felly Anggraini), setelah itu diproses PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) dan kalau sudah ditebus baru dilakukan AJB (Akad Jual Beli),”

”Kan tidak mungkin juga Hidayat ngasih uang ke Lukito Rp 400 juta untuk menebus utang di bank tanpa ada ikatan, maka diikat dengan PPJB. Setelah ditebus maka dibuatlah AJB,” imbuhnya.

Jadi kalau dikatakan pinjam meminjam, prosesnya pun tidak jelas, berapa pinjamnya. Namun memang disebutkan kalau ada uang maka bisa dibeli kembali dan sebagai bukti, satu dari tiga sertifikat telah kembali.

Meski demikian tentunya penentuan harganya dengan kesepakatan, kalau dulu itu harga berapa kalau mau beli ulang dengan harga berapa. Ternyata yang dua sertifikat belum bisa dibeli kembali, bahkan tidak ada niatan sama sekali untuk mencicil utang.

“Jadi bisa disimpulkan kalau ini tidak pernah ada utang maka tidak pernah ada usaha untuk mencicilnya sejak 1994. Jadi ini murni adalah jual beli,” tegasnya.

Sementara itu Nasokha yang menjadi kuasa hukum Leni Seryawati dan ketiga anaknya membantah pernyataan kuasa saksi pelapor, sebab tak satupun kekuarga ahli waris dari almarhum Lukito Lutiarso dilibatkan dan proses perjanjian jual beli hanya dengan Lukito saja. Secara hukum proses ini menjadi tidak sah sehingga batal demi hukum.

Kemudian dari tiga sertifikat itu, di sidang disampaikan satu sudah dijual atau dibeli lagi oleh terdakwa. Kalau memang benar, harganya berapa, lalu setelah itu terdakwa dipidanakan dengan dalih pelanggaran Pasal 167 yakni masuk ke pekarangan orang lain karena ada perjanjian sewa pakai yang berakhir setelah Lukito meninggal dunia.

“Ternyata perjanjian itu dibuat secara sepihak karena para pihak yang terlibat di dalamnya secara keseluruhan sama sekali tidak dilibatkan. Bahkan di dalam akta pun Lukito tidak ada tanda tangan, termasuk isterinya juga tidak tanda tangan selaku ahli waris. Kalau itu dilakukan secara sepihak tentunya kita akan repot, karena di dalam hukum itu bukan main kuat-kuatan kayak gitu,” paparnya.

Sedangkan keberadaan surat kuasa Leni Setyawati dalam perjanjian tersebut, Dirinya memaatikan tidak pernah ada dalam surat kuasa yang dimaksud. Tidak pernah ada buktinya, termasuk persetujuan-persetujuan lain yang disebutkan tidak ada semua.

“Di dalam akta jual beli pun tidak ada nama Lanny Setyawati tanda tangan, semua hanya dilakukan oleh Lukito. Jadi proses ini semua bisa dibatalkan demi hukum,” cetusnya.

Ia bersikukuh bahwa proses yang ada bukanlah akad jual beli namun pinjam pakai karena sari tiga sertifikat dikembalikan satu, namun mereka mengklaimnya itu dijual dengan harga Rp 200 juta. Padahal almarhum Hidayat membeli Rp 400 juta untuk tiga sertifikat. Jadi kalau memang dibayar dengan harga Rp200 juta, harusnya dapat satu setengah sertifikatnya. Apalagi tidak ada penilaian dari appraisal,

“Jadi mereka mengklaim dua sertifikat. Padahal, terdakwa dan keluarga sudah menguasai lahan sejak 1974 sampai sekarang. Mudah-mudahan masih ada celah, untuk sidang berikutnya nanti ada saksi dari notaris dan BPN. Kami pun akan menghadirkan dua saksi yang bisa menguak takbir ini karena tahu peristiwa hukumnya,” sebutnya. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *